Kompleksitas Hidup
Jadi seharian ini entah kenapa terngiang-ngiang satu kata di pikiran gue: complexity. Gue ngambil definisinya dulu deh dari KBBI,
kompleksitas /kom·plek·si·tas/ /kompléksitas/ a kerumitan; keruwetan;
Definisi dari Collins Dictionary juga oke,
Complexity is the state of having many different parts connected or related to each other in a complicated way.
If you say that something is complicated, you mean it has so many parts or aspects that it is difficult to understand or deal with.Note that, sesuatu yang gue anggep rumit atau ruwet belum tentu sama standarnya kayak yang ada di pikiran orang lain. However, I realize that what one sees as complex and what one sees as simple is relative and changes with time.
WHAT ARE MY TODAY'S TOUGHTS?
Gue rasa setiap hal yang ada di dunia ini, for sure, is very complicated. Bahkan dimulai dari hal yang paling kecil sekalipun. Coba aja ambil contoh: atom. Man, even trying to read a chapter describing what is an 'atom' is so complicated. Perasaan overwhelming yang sama juga muncul saat mencari tahu tentang cell, yang padahal unit terkecil, yap TERKECIL penyusun makhluk hidup. Terus gue ngebayanginnya gini, dari yang kecil-kecil tadi aja udah kompleks banget, apalagi yang gabungan dari hal-hal kecil tadi??!! Misal yang udah dipelajarin di bangku SMA, kumpulan cell namanya tissue (jaringan), atau buat yang satu lagi, kumpulan atom namanya molekul.
Ini dari pandangan random gue sebagai orang yang awam di bidang-bidang tersebut. Awam di bidang physics dan biology. Tapi, buat orang yang bukan awam, bisa aja gak ngerasa kalau kedua hal tadi itu complex, sama sekali gak kerasa complicated, buat mereka itu simple.
Oh iya, tadi itu baru bagian dari natural sciences ya, belum lagi complexity yang ada di social sciences. Ada banyak banget teori-teori di bidang sosial. Kayaknya yang masih gue inget sih ini: teori permintaan dan penawaran di ilmu ekonomi. Tapi again, pada prakteknya, teori-teori ini pasti digabung sama teori-teori lain, biar it works as what we wish. Kebayang gak kalau in a life, ada banyak gabungan dari teori-teori dari natural and social sciences, yang isinya juga udah gabungan dari teori-teori kecilnya.
Ya, emang sih, tanpa kita tahu apa "teori-teori"-nya, it is what it is. Akan tetap berjalan dengan sendirinya, entah kita bisa terjemahin hal-hal di dunia ini dalam kata-kata, biar jadi ilmu, atau enggak. Di sisi lain, semua realitas yang udah berhasil diterjemahin pun emang berkontribusi dalam kemajuan peradaban kita, so it's all useful.
Complexity in complicated theories of life.
WHAT DO I LEARN FROM THESE THOUGHTS?
Gue rasa kita semua tau ya, gimana 'gila'-nya tuntutan hidup di zaman ini. Banyak hal-hal yang dulu gak ada, atau yang dulunya dianggep kompleks-sekompleks-kompleksnya, sekarang dianggep simpel banget, kayak, orang feeling-nya udah biasa aja gitu pas denger atau nyoba pelajarin itu.
WHAT DO I LEARN FROM THESE THOUGHTS?
Gue rasa kita semua tau ya, gimana 'gila'-nya tuntutan hidup di zaman ini. Banyak hal-hal yang dulu gak ada, atau yang dulunya dianggep kompleks-sekompleks-kompleksnya, sekarang dianggep simpel banget, kayak, orang feeling-nya udah biasa aja gitu pas denger atau nyoba pelajarin itu.
M-m-maksudnya? Ya bayangin aja, gimana feeling orang saat komputer pertama di dunia muncul ke permukaan! ENIAC, si komputer generasi pertama. Sekarang, kalau kita bawa si ENIAC ini ke pasar, siapa yang mau?!? Meskipun ada yang mau beli, mungkin dengan alasan-alasan khusus, bukan buat penggunaan di masa sekarang. Ya iyalah, ukurannya aja gede banget, satu ruangan penuh! Udah gitu gak bisa di-install sistem operasi yang banyak dipakai belakangan ini. Shortly, pasti mikir kalau beli laptop adalah pilihan yang jauh lebih baik.
Nah, itukan feeling pas orang baru nemuin ENIAC ya, coba sekarang gimana feeling-nya pas kita liat laptop, yang bisa dibilang jauh lebih advanced dari si ENIAC tadi? Ya biasa aja, udah umum banget. Beda sama pas awal-awal si laptop baru ditemuin.
Well, meskipun hal-hal yang gue maksud ini pun muncul karena kita udah berhasil nerjemahin yang kecil-kecilnya, akhirnya bisa gabungin sendiri semau kita, asal sejalan sama how it works in the universe. Basically it means connecting the dots.
Tapi, menurut gue, ya gue harus balik lagi to the basic, to the scratch. Gue gak akan bisa ngertiin kompleksitas yang terdiri atas kompleksitas-kompleksitas kecil gitu aja, tanpa ngertiin yang kecil-kecilnya dulu. Ibarat pohon yang ditopang akarnya. Tanpa akar, pohonnya gabisa berdiri kuat. Ibarat rumah yang ditopang pondasinya. Tanpa pondasi, rumahnya gabisa berdiri kuat, akan roboh.
Tapi, menurut gue, ya gue harus balik lagi to the basic, to the scratch. Gue gak akan bisa ngertiin kompleksitas yang terdiri atas kompleksitas-kompleksitas kecil gitu aja, tanpa ngertiin yang kecil-kecilnya dulu. Ibarat pohon yang ditopang akarnya. Tanpa akar, pohonnya gabisa berdiri kuat. Ibarat rumah yang ditopang pondasinya. Tanpa pondasi, rumahnya gabisa berdiri kuat, akan roboh.
Itulah kenapa jadi makes sense kalau math dijadiin pondasi paling awal, ya setahu gue, emang ilmu-ilmu yang ada di both natural and social sciences butuh math (misalnya). Ilmu-ilmu kayak fisika, kimia, biologi, sampai ke ilmu-ilmu kayak ekonomi, sosiologi, geografi, ujung-ujungnya ada math juga. Apalagi ilmu-ilmu advanced kayak ilmu komputer, ilmu arsitektur, ilmu makanan, dan ilmu-ilmu lainnya.
Jangankan yang ilmu-ilmu segala macem gitu, kalau mau buka usaha sederhana juga butuh ngitung. Selain ngitungnya, juga logikanya biar bisa untung. Kalau lebih advanced-nya mungkin masuk ilmu bisnis.
THE END
read this more
When we're seeing the bigger picture, we must also see the smallest picture inside.
When we're seeing some things that we consider as complex, we must also see (the other) some things that we consider as simple.
We cannot build a house without strong foundation and expect to get a long-term sustainable house.
After all, it all makes sense now.
THE END