Iman (Saddhā) dari Sudut Pandang Theravāda
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassā.
Iman atau keyakinan merupakan salah satu ciri khas dari agama-agama besar dunia, tak terkecuali Buddhisme. Sebagaimana Buddhisme, khususnya tradisi Theravāda, memiliki terminologi yang agak berbeda atas kata deva, kamma, dan berbagai istilah bahasa Pāli lainnya, Buddhisme Theravāda juga memiliki terminologi sendiri atas kata saddhā yang turut mewarnai keberagaman pandangan agama-agama besar dunia. Pandangan Buddhisme Theravāda perihal iman, atau yang dalam bahasa Pāli disebut sebagai saddhā, dijelaskan oleh Sang Buddha Gautama dalam banyak bagian Tipiṭaka Pāli.
Dengan mempertimbangkan doktrin-doktrin kerangka dasar Buddhisme yang sulit untuk dibuktikan secara langsung oleh orang awam melalui pengalaman sehari-hari (di luar jangkauan pembuktian empiris langsung), keyakinan tetap diperlukan. Contoh dari doktrin-doktrin tersebut meliputi: alam kehidupan makhluk-makhluk, nafsu keinginan, kamma, kelahiran kembali, dan seterusnya. Namun demikian, bukan berarti manusia tidak dapat menguji doktrin Buddha melalui pengalaman langsung.
Bhikkhu Bodhi menyampaikannya demikian.
Bertolak belakang dengan agama wahyu, Buddha tidak menuntut kita untuk memulai pencarian spiritual kita dengan berkeyakinan terhadap doktrin-doktirn yang berada di luar jangkauan pengalaman langsung kita.
Alih-alih mengajak kita untuk bergelut dengan hal-hal yang, bagi kita dalam keadaan kita sekarang ini, tak dapat ditentukan oleh pengalaman sebanyak apa pun, Beliau sebaliknya mengajak kita untuk memikirkan beberapa pertanyaan sederhana yang berhubungan dengan kesejahteraan serta kebahagiaan langsung kita, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang bisa kita jawab menurut pengalaman pribadi.
Saya menekankan ungkapan "bagi kita dalam keadaan sekarang ini" karena walaupun saat ini kita tidak mampu menguji hal-hal seperti itu, hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak hal-hal tersebut sebagai tidak sahih apalagi sebagai tidak relevan. Ini hanya berarti bahwa kita perlu sejenak mengabaikan hal-hal tersebut, dan kemudian memikirkan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman langsung.
...
Ada satu teks yang menawarkan contoh yang baik mengenai pendekatan ini, yaitu sebuah pembabaran singkat dalam Aṅguttara Nikāya yang lebih dikenal sebagai Kālāma Sutta (Aṅguttara Nikāya 3.65).
Kālāma Sutta
Kaum Kālāma yang merasa bingung oleh pertentangan yang muncul pada sistem-sistem kepercayaan bertanya kepada Buddha. Buddha menjelaskan bahwa keraguan dan kebingungan kaum Kālāma merupakan hal yang wajar. Buddha meminta kaum tersebut agar tidak bersandar pada sepuluh sumber keyakinan:
- tradisi lisan (anussava)
- ajaran turun-temurun (paramparā)
- desas-desus atau kabar angin (itikirā),
- himpunan atau kumpulan teks (piṭaka-sampadāna)
- penalaran logis (takka-hetu)
- penalaran inferensial (naya-hetu)
- pertimbangan yang beralasan (ākāra-parivitakka)
- penerimaan suatu pandangan setelah merenunginya (diṭṭhi-nijjhānakkhantiyā)
- pembabar yang tampaknya cukup kompeten (bhabba-rūpatāya)
- guru-guru yang dihormati (samaṇo no garū)
Salah Kaprah Penafsiran
Nasihat ini terkadang dikutip untuk membuktikan bahwa Buddha menolak semua otoritas eksternal dan mengundang tiap individu untuk merancang jalan pribadinya masing-masing untuk menuju kebenaran. Namun, bacalah dalam konteksnya bahwa pesan dari Kālāma Sutta sungguh berbeda.
Buddha tidaklah menasihati kaum Kālāma — yang, perlu ditekankan, pada saat tersebut belum menjadi siswa-Nya sendiri — untuk menolak semua pedoman otoritatif untuk menuju pemahaman spiritual serta kembali pada intuisi pribadinya semata. Sebaliknya, Beliau menawarkan mereka suatu jalan yang sederhana serta pragmatis untuk keluar dari belitan keraguan dan kebingungan yang membenam diri mereka.
Dengan penggunaan cara tanya yang piawai, Beliau menuntun mereka untuk memahami sejumlah prinsip dasar yang dapat mereka buktikan melalui pengalaman mereka sendiri, dan dengan demikian mereka mendapatkan titik mula yang pasti untuk pengembangan spiritual selanjutnya.
Kutipan Kālāma Sutta
Dikenal juga sebagai Kesamutti Sutta, Aṅguttara Nikāya 3.65:
“Bhante, ada beberapa petapa dan brahmana yang datang ke Kesaputta. Mereka menjelaskan dan membabarkan doktrin-doktrin mereka sendiri, tetapi meremehkan, menjelek-jelekkan, mencemooh, dan mencela doktrin yang lain. Tetapi kemudian beberapa petapa dan brahmana lainnya datang ke Kesaputta, dan mereka juga menjelaskan dan membabarkan doktrin-doktrin mereka sendiri, tetapi meremehkan, menjelek-jelekkan, mencemooh, dan mencela doktrin yang lain. Kami menjadi bingung dan ragu-ragu, Bhante sehubungan dengan petapa mana yang mengatakan yang sebenarnya dan yang mana yang berbohong.”
“Adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi bingung, O penduduk Kālāma, adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi ragu-ragu. Keragu-raguan telah muncul dalam diri kalian sehubungan dengan suatu persoalan yang membingungkan.
...
“Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Ketika keserakahan ... kebencian ... delusi muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi bahaya baginya, Bhante.”
“Para penduduk Kālāma, seseorang yang penuh keserakahan ... kebencian... delusi, dikendalikan oleh keserakahan ... kebencian ... delusi, pikirannya dikuasai oleh keserakahan ... kebencian ...delusi, akan melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan mengucapkan kebohongan; dan ia menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
“Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?”—“Tidak bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?”—“Tercela, Bhante.”—“Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?”—“Dicela oleh para bijaksana, Bhante.”—“Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini mengarah menuju bahaya dan penderitaan atau tidak, atau bagaimanakah kalian menganggapnya?”—“Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal iniakan mengarah menuju bahaya dan penderitaan. Demikianlah kami menganggapnya.”
“Demikianlah, para penduduk Kālāma, ketika kami berkata: ‘Marilah, para penduduk Kālāma, jangan menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: “Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,” maka kalian harus meninggalkannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.
“Marilah, para penduduk Kālāma. Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka kalian harus hidup sesuai dengannya.
"Pascal's Wager" dalam Empat Jaminan di Kālāma Sutta
...
“Siswa mulia ini, para penduduk Kālāma, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk, tidak kotor, dan murni, telah memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini.
“Jaminan pertama yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Jika ada dunia lain, dan jika ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk, maka adalah mungkin bahwa dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan muncul di alam tujuan yang baik, di alam surga.’
“Jaminan kedua yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Jika tidak ada dunia lain, dan jika tidak ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk, tetap saja di sini, dalam kehidupan ini, aku hidup dalam kebahagiaan, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk, bebas dari kesulitan.
“Jaminan ketiga yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan menimpa si pelaku kejahatan. Maka, karena aku tidak bermaksud jahat terhadap siapa pun, bagaimana mungkin penderitaan menimpaku, karena aku tidak melakukan perbuatan jahat?’
“Jaminan keempat yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan tidak menimpa si pelaku kejahatan. Maka di sini aku akan melihat diriku dimurnikan dalam kedua hal.’
“Siswa mulia ini, para penduduk Kālāma, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk , tidak kotor, dan murni, telah memenangkan empat jaminan ini dalam kehidupan ini.”
...
Keyakinan (Saddhā)
Karakteristik, Fungsi, Manifestasi, dan Sebab-Terdekat Saddhā
Jika ditinjau dari Abhidhammapiṭaka, saddhā diklasifikasikan dalam faktor-faktor mental indah (sobhana-cetasika). Saddhā didefinisikan sebagai faktor-mental yang memercayai (saddahati) objek. Manifestasi dari saddhā adalah bebas dari kotoran (akālusiyapaccu-paṭṭhāna) atau keputusan (adhimuttipaccu-paṭṭhāna). Sebab-terdekat dari saddhā adalah objek yang pantas memunculkan keyakinan (saddheyyavatthu-padaṭṭhāna) atau faktor-faktor Pengarungan Arus (sotāpattiyaṅga-padaṭṭhāna).
Karakteristik dari saddhā adalah meyakini (saddahana-lakkhaṇa) atau memercayai (okappana-lakkhaṇa). Berdasarkan karakteristiknya, saddhā membuat seseorang yakin dan percaya kepada Buddha, Dhamma, dan Saṅgha (termasuk latihan-latihan seperti dāna, sīla, bhāvanā).
Fungsi dari saddhā adalah untuk menjernihkan (pasādana-rasa) atau untuk melompat (pakkhandana-rasa). Berdasarkan fungsinya, keyakinan tersebut seharusnya membuat hati seseorang menjadi tenang dan damai. Keyakinan terhadap Tiratana seharusnya tidak akan pernah membuat seseorang marah, benci, dendam, atau bahkan berperang dengan seseorang atau kelompok yang menista Buddhisme. Sebaliknya, keyakinan semacam ini sangat menyejukkan hati dan mempunyai kemampuan untuk mengendapkan emosi-emosi yang negatif: mengikis rintangan-rintangan batin (nīvaraṇe vikkhambheti), membuat kotoran-kotoran batin menjadi tenang dan mereda (kilese sannisīdāpeti), memurnikan hati (cittaṃ pasādeti), dan membuatnya bersih (anāvila).
Lebih lanjut, Ashin Kheminda menyatakan demikian.
Hendaknya dipahami dan dilihat bahwa keyakinan tersebut adalah keyakinan yang membuat hati kita menjadi tenang dan damai. Faktor-mental keyakinan tidak akan pernah bisa membuat seseorang menjadi fanatik dan fundamentalis. Seseorang juga tidak akan bisa menyakiti makhluk lain atas dasar keyakinannya terhadap Buddha dan lain-lain.
Dengan kata lain, faktor-mental keyakinan tidak akan pernah membuat seseorang marah, benci, dendam, atau bahkan berperang dengan seseorang atau kelompok yang menista Buddhisme karena keyakinan di dalam Buddhisme sangat menyejukkan hati dan mempunyai kemampuan untuk mengendapkan emosi-emosi yang negatif.
Lalu, apakah mereka yang fanatik, fundamentalis, mudah beringas, dan menyakiti makhluk lain karena sedang mempertahankan keyakinannya sesungguhnya tidak mempunyai keyakinan terhadap guru dan ajaran mereka? Tentu saja mereka mempunyai keyakinan, tetapi keyakinan yang masih bisa menyakiti makhluk lain bukanlah faktor-mental keyakinan melainkan ketidak-bijaksanaan atau pandangan salah mereka.
Pada Brahmajāla Sutta, Dīgha Nikāya 1, Sang Buddha menguraikan demikian.
‘Para bhikkhu, jika seseorang menghinaKu, Dhamma atau Saṅgha, kalian tidak boleh marah, kesal atau terganggu akan hal itu. Jika kalian marah atau tidak senang akan penghinaan itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Karena jika orang lain menghinaKu, Dhamma atau Saṅgha, dan kalian marah atau tidak senang, dapatkah kalian mengetahui apakah yang mereka katakan itu benar atau salah?’
‘Tidak, Bhagavā.’
‘Jika orang lain menghinaKu, Dhamma atau Saṅgha, maka kalian harus menjelaskan apa yang tidak benar sebagai tidak benar, dengan mengatakan: “Itu tidak benar, itu salah, itu bukan jalan kami, itu tidak ada pada kami.”
Jika orang lain memujiKu, Dhamma atau Saṅgha, kalian tidak boleh gembira, bahagia atau senang akan hal itu. Jika kalian gembira, bahagia atau senang akan pujian itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Jika orang lain memujiKu, Dhamma atau Saṅgha, kalian harus mengakui kebenaran atas apa yang benar, dengan mengatakan: “Itu benar, itu tepat sekali, itu adalah jalan kami, itu ada pada kami.”
Buddhisme menguraikan keyakinan menjadi dua jenis: keyakinan buta atau tanpa dasar (amūlika saddhā) dan keyakinan yang kukuh atau sempurna (aveccappasāda).
Keyakinan Buta (Amūlika Saddhā)
Cerita tentang permata di genggaman tangan Guru mengilustrasikan keyakinan buta dengan baik.
Pada suatu hari, Guru mengatakan kepada murid-muridnya bahwa di genggaman tangan kanannya ada batu permata yang sangat indah. Murid-murid pun, karena keyakinan dan kepatuhan mereka terhadap Guru, memercayainya tanpa pernah memeriksa kebenaran pernyataan Guru mereka. Seumur hidup mereka tidak pernah melihat permata di tangan gurunya, tetapi mereka memercayai bahwa permata tersebut benar-benar ada. Keyakinan jenis ini selalu memerlukan kepatuhan buta untuk mempertahankan eksistensinya.
Dalam menyikapi keyakinan buta atau tanpa dasar (amūlika saddhā), diperlukan kehati-hatian agar tidak menjadi keyakinan yang membabi-buta sehingga membuat seseorang menjadi beringas demi mempertahankan keyakinannya. Dalam Caṅkī Sutta (Majjhima Nikāya 95), Buddha membahas tentang keyakinan yang demikian. Seorang brahmana muda yang bernama Caṅkī (Kāpaṭhika Māṇava) dan para brahmana lainnya mengklaim “hanya ini saja yang benar, yang lainnya salah” berkaitan dengan mantra-mantra yang terdapat di kitab-kitab yang telah mereka terima secara turun-temurun. Keyakinan demikian, menurut Sang Buddha, seperti sekumpulan orang buta yang berjalan beriringan dan saling berpegangan (paramparā-saṃsatta) di mana orang yang di depan tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang di belakang tidak melihat. Keyakinan seperti ini disebut juga sebagai keyakinan yang sebagian semata (bhāgamatta): tidak lengkap; dan bisa menyebabkan menguatnya pandangan-salah, pelekatan, dan bahkan kebencian;
Dalam menanggapi persoalan Caṅkī, Buddha menasihatinya untuk menyelidiki dari mana keyakinannya muncul terlebih dahulu: keyakinan (saddhā), kecenderungan (ruci), tradisi oral (anussava), pemikiran yang beralasan (ākāraparivitakka), dan/atau keyakinan terhadap pandangan setelah merenungkannya masak-masak (diṭṭhinijjhānakkhanti). Menurut Sang Buddha, keyakinan yang didasari oleh satu dari lima hal demikian bisa saja hampa (ritta), kosong (tuccha), dan tidak benar (musā); atau sebaliknya, bisa saja nyata (bhūta), benar (taccha), dan tidak berbeda dari yang dipahami (anaññathā). Melihat dua garis besar kemungkinan ini, seseorang sebaiknya berhati-hati dengan menjunjung tinggi sikap menjaga Kebenaran atas keyakinan tanpa dasar pengalaman langsung karena keyakinan tersebut bisa benar atau bisa juga salah.
Akan tetapi, keyakinan tanpa dasar pengalaman langsung (amūlika saddhā) memiliki manfaatnya tersendiri untuk memulai perjalanan spiritual. Keyakinan merupakan prasyarat bagi latihan lanjut. Pandangan yang sebaiknya dianut adalah dengan memahami bahwa sebelum seseorang menemukan dan mengalami Kebenaran (saccānubodha) secara langsung maka dia harus melestarikan atau menjaga Kebenaran (saccānurakkhanā) dengan tidak menyimpulkan keyakinannya sebagai satu-satunya Kebenaran sehingga yang lainnya salah.
Pelestarian Kebenaran (saccānurakkhanā) dan Penemuan Kebenaran (saccānubodha)
Pelestarian Kebenaran (saccānurakkhanā) terjadi saat seseorang yang berkeyakinan terhadap sesuatu berkata "inilah keyakinanku". Seseorang "melestarikan kebenaran" karena ia semata-mata menyatakan apa yang dipercayainya tanpa menyimpulkan bahwa apa yang ia yakini pasti benar dan segala hal yang bertentangan dengan keyakinan ini adalah salah (Bhikkhu Bodhi).
Lebih lanjut, Bhikkhu Bodhi menjelaskan demikian.
Keyakinan dimulai dengan memercayai guru yang telah terbukti bisa dipercaya. Setelah memperoleh keyakinan terhadap guru seperti ini, orang tersebut lalu mendekati sang guru untuk mendapatkan bimbingan, mendalami Dhamma, berlatih Dhamma, dan akhirnya menyadari kebenaran agung itu sendiri (saccānubodha).
Dalam Caṅkī Sutta (Majjhima Nikāya 95), tahapan terjadinya pelestarian kebenaran secara singkat adalah sebagai berikut.
"Jika seseorang berkeyakinan, Bhāradvāja, ia melestarikan kebenaran saat ia berkata: 'Keyakinan saya seperti ini'; namun ia belum mencapai kesimpulan pasti: 'Hanya ini yang benar, semua yang lain adalah salah.'
Dengan cara ini, Bhāradvāja, terjadi pelestarian kebenaran; dengan cara ini ia melestarikan kebenaran; dengan cara ini kami menggambarkan pelestarian kebenaran. Namun tetap saja belum ditemukan kebenaran."
"Jika seseorang merestui sesuatu ... jika ia menerima suatu tradisi lisan ... jika ia [mencapai kesimpulan berdasarkan] renungan yang bernalar ... jika ia menerima suatu pandangan setelah mempertimbangkannya, ia melestarikan kebenaran saat ia berkata: 'Pandangan yang saya terima setelah mempertimbangkannya adalah seperti ini'; namun ia belum mencapai kesimpulan pasti: 'Hanya inilah yang benar, semua yang lain adalah salah.'
Dengan cara ini, Bhāradvāja, terjadi pelestarian kebenaran; dengan cara ini ia melestarikan kebenaran; dengan cara ini kami menggambarkan pelestarian kebenaran. Namun tetap saja belum ditemukan kebenaran."
Dalam Caṅkī Sutta (Majjhima Nikāya 95), tahapan terjadinya penemuan kebenaran secara singkat adalah sebagai berikut.
Keyakinan sungguh -> mengunjungi guru -> memberi hormat -> menyimak -> mendengar Ajaran -> mengingat Ajaran -> memeriksa artinya -> menerima Ajaran karena menimbangnya -> kemauan sungguh -> pencurahan niat -> penelitian cermat -> usaha keras -> pengulangan, pengembangan, dan pelatihan hal-hal yang sama tersebut -> pencapaian akhir kebenaran.
Keyakinan Kukuh (Aveccappasāda)
Sebagai tindak lanjut dari keyakinan buta (amūlika saddhā), Sang Buddha juga menjelaskan tentang keyakinan kukuh atau sempurna (aveccappasāda).
Dalam Nigaṇṭha Nāṭaputta Sutta (Saṁyutta Nikāya 41.8) tercatat percakapan antara Nigaṇṭha dengan seorang perumah tangga yang bernama Citta. Citta tidak “meyakini” adanya jhāna tanpa penempelan-awal dan tanpa penempelan-terus-menerus. Nigaṇṭha mengira bahwa Citta tidak percaya dengan pernyataan Sang Buddha Gotama, padahal Citta bermaksud untuk menyampaikan bahwa dia telah “mengetahui dan melihat” sendiri. Inilah yang kemudian diistilahkan sebagai pengetahuan yang lebih luhur dari keyakinan. Keyakinan Citta bukanlah keyakinan buta atau tanpa dasar melainkan keyakinan kukuh yang muncul dari pengalaman langsung karena ia telah melihat langsung jhāna. Inilah keyakinan seorang murid yang telah melihat langsung permata di genggaman tangan gurunya.
Selanjutnya, Ashin Kheminda menjelaskan demikian.
Jadi, meskipun seseorang telah mempunyai keyakinan awal terhadap Buddha, dia tetap harus menemukan dan mengalami Kebenaran itu sendiri. Untuk itu, seseorang memerlukan guru yang baik — guru yang telah terbebas dari keserakahan, kebencian, dan delusi. Apabila guru yang seperti itu tidak bisa ditemukan maka Tipiṭaka dan kitab-kitab komentarnya menjadi pilihan yang baik dan bijaksana karena pada hakikatnya Tipiṭaka adalah yang menerima tongkat estafet langsung dari Buddha untuk menggantikan-Nya sebagai guru kita.
Saddhā sebagai Kekuatan (Bala)
Salah satu dari sekian banyak penjelasan mengenai saddhā dapat ditemukan pada kitab Tipiṭaka Pāli bagian Suttapiṭaka: Aṅguttara Nikāya 5.14 dalam sutta (khotbah) yang berjudul “Vitthata Sutta”:
“... Katamañca, bhikkhave, saddhābalaṁ? Idha, bhikkhave, ariyasāvako saddho hoti, saddahati tathāgatassa bodhiṁ: ‘itipi so bhagavā arahaṁ sammāsambuddho vijjācaraṇasampanno sugato lokavidū anuttaro purisadammasārathi satthā devamanussānaṁ buddho bhagavā’ti. Idaṁ vuccati, bhikkhave, saddhābalaṁ ...”
“...Dan apakah, para bhikkhu, kekuatan keyakinan? Di sini, seorang siswa mulia memiliki keyakinan. Ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, sempurna menempuh sang jalan, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ini disebut kekuatan keyakinan ...” (terjemahan versi DhammaCitta Press)
Dalam khotbah tersebut, Sang Buddha menjelaskan bahwa kekuatan keyakinan (saddhā-bala) merupakan satu dari lima kekuatan yang ada. Empat kekuatan lainnya adalah kekuatan kegigihan (vīriya-bala), kekuatan perhatian (sati-bala), kekuatan konsentrasi (samādhi-bala), dan kekuatan kebijaksanaan (paññā-bala).
Empat Jenis Keyakinan Terunggul
“Para bhikkhu, ada empat jenis keyakinan terunggul ini. Apakah empat ini?
- “Sejauh apa pun jangkauan makhluk-makhluk yang ada, apakah yang tanpa kaki atau berkaki dua, berkaki empat, atau berkaki banyak, apakah berbentuk atau tanpa bentuk, apakah memiliki persepsi atau tanpa persepsi, atau bukan memiliki persepsi juga bukan tanpa persepsi, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna dinyatakan sebagai yang terunggul di antara semua makhluk itu. Mereka yang memiliki keyakinan pada Sang Buddha memiliki keyakinan pada yang terunggul, dan mereka yang memiliki keyakinan pada yang terunggul, hasilnya juga terunggul.
- “Sejauh apa pun jangkauan fenomena-fenomena terkondisi yang ada, Jalan Mulia Berunsur Delapan dinyatakan sebagai yang terunggul di antara fenomena-fenomena terkondisi itu. Mereka yang memiliki keyakinan pada Jalan Mulia Berunsur Delapan memiliki keyakinan pada yang terunggul, dan mereka yang memiliki keyakinan pada yang terunggul, hasilnya juga terunggul.
- “Sejauh apa pun jangkauan fenomena-fenomena terkondisi ataupun yang tidak terkondisi yang ada, kebosanan dinyatakan sebagai yang terunggul di antara fenomena-fenomena terkondisi atau pun tidak terkondisi itu, yaitu, penghancuran keangkuhan, pelenyapan kehausan, pencabutan kemelekatan, penghentian lingkaran, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, Nibbāna. Mereka yang memiliki keyakinan pada Dhamma memiliki keyakinan pada yang terunggul, dan mereka yang memiliki keyakinan pada yang terunggul, hasilnya juga terunggul.
- “Sejauh apa pun jangkauan Saṅgha atau kelompok-kelompok yang ada, Saṅgha para siswa Sang Tathāgata dinyatakan sebagai yang terunggul di antara kelompok-kelompok itu, yaitu, empat pasang orang, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Mereka yang memiliki keyakinan pada Saṅgha memiliki keyakinan pada yang terunggul, dan mereka yang memiliki keyakinan pada yang terunggul, hasilnya juga terunggul.
“Ini adalah keempat jenis keyakinan yang terunggul itu.”
Lima Manfaat Berkeyakinan
Saddha Sutta (AN 5.48) menguraikan demikian.
“Para bhikkhu, lima manfaat ini mendatangi seorang anggota keluarga yang memiliki keyakinan. Apakah lima ini?
Ini adalah kelima manfaat yang mendatangi seorang anggota keluarga yang memiliki keyakinan.
- Ketika orang-orang baik di dunia menunjukkan belas kasihan, mereka pertama-tama menunjukkan belas kasihan pada orang yang berkeyakinan, bukan pada orang yang tanpa keyakinan.
- Ketika mereka mendatangi siapa pun, mereka pertama-tama mendatangi orang yang berkeyakinan, bukan mendatangi orang yang tanpa keyakinan.
- Ketika mereka menerima dana makanan, mereka pertama-tama menerima dana makanan dari orang yang berkeyakinan, bukan dari orang yang tanpa keyakinan.
- Ketika mereka mengajarkan Dhamma, mereka pertama-tama mengajarkan Dhamma kepada orang yang berkeyakinan, bukan kepada orang yang tanpa keyakinan.
- Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seorang yang berkeyakinan terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.
Keraguan (vicikicchā)
Ashin Kheminda, dalam Manual Abhidhamma Bab 1, menguraikan demikian.
Vicikicchā adalah keadaan batin yang kelelahan setelah menginvestigasi karakteristik alamiah (sabhāva) dari batin-dan-jasmani (nāmarūpa). Vicikicchā juga didefinisikan sebagai keadaan batin yang sakit dan sulit untuk diobati karena tidak tersedianya pengetahuan sebagai obatnya.
Bhikkhu Bodhi dalam A Comprehensive Manual of Abhidhamma menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan keraguan adalah keraguan kepada Buddha, Dhamma, Saṅgha, dan Latihan: sedekah (dāna), akhlak (sīla), semadi (bhāvanā). Jenis keraguan ini mempunyai kekuatan untuk memunculkan kelahiran di alam bawah. Kitab penjelasan Dhammasaṅgaṇī menguraikan keraguan, secara umum, terhadap enam objek: objek-bentuk, objek-suara, objek-bau, objek-rasa, objek-sentuhan, dan objek-dhamma. Dengan demikian, keraguan bisa muncul melalui pintu pancaindra (pasādarūpa) maupun pintu-batin. Keraguan, seperti didefinisikan Dhammasaṅgaṇī, mencakup keraguan yang bisa memunculkan kelahiran di alam bawah dan keraguan yang hanya mempunyai kekuatan untuk menghancurkan kedamaian dan kebahagiaan sesaat.
Ashin Kheminda menguraikan demikian.
Keraguan muncul karena sudah ada keraguan awal. Keraguan yang muncul saat ini akan memperkuat kemunculan keraguan berikutnya dan akan menjadi semakin kuat apabila tidak ditemukan obatnya, yang dalam hal ini adalah pengetahuan atau kebijaksanaan.
Apabila Anda tidak mempunyai pengetahuan matematika yang cukup, maka keraguan akan muncul pada saat, misalnya, Anda diminta untuk menghitung hasil dari lima dikalikan lima. Akan tetapi, seperti yang sudah saya sampaikan di atas, keraguan seperti ini tidak akan memproduksi kelahiran di alam-alam rendah. Efek dari keraguan jenis ini mungkin hanya akan menciptakan rasa malu, kebingungan, atau kebingungan sesaat.
Akan tetapi, apabila dikarenakan kurangnya pengetahuan Dhamma kemudian Anda meragukan Buddha, Dhamma, dan Saṅgha yang berdampak pada rasa enggan untuk melatih dāna, sīla, dan bhāvanā; maka keraguan yang seperti ini cukup kuat untuk memunculkan kelahiran di alam rendah.
Ashin Kheminda, dalam Manual Abhidhamma Bab 2, menguraikan demikian.
Keraguan adalah ketidakmampuan untuk memberikan keyakinan atau kepercayaan kepada Buddha, Dhamma, atau Saṅgha; ragu terhadap praktik atau latihan meditasi; ragu terhadap adanya kelahiran, khandha, āyatana, atau dhātu masa depan. ...
Keraguan mempunyai kekuatan yang sangat merusak. Apabila seseorang mempunyai keraguan terhadap Buddha, Dhamma, dan Saṅgha serta praktik meditasi yang diajarkan maka dia tidak dapat mencapai kemajuan spiritual untuk merealisasi anicca; dukkha; anatta; khandha; āyatana; dhātu di masa lampau, di masa depan, dan di masa sekarang.
Keraguan adalah salah satu dari lima rintangan batin yang harus diatasi agar yogī bisa mencapai sammā-samādhi. Yogī yang mencapai sammā-samādhi akan mampu memahami fenomena sesuai realitas (yathābhūta) yang pada saatnya akan mampu menghancurkan keraguan hingga ke akarnya melalui pencapaian Jalan sotāpatti.
Vicikicchā diklasifikasikan sebagai salah satu dari lima rintangan batin (pañca-nīvaraṇa) yang menghalangi seseorang mencapai konsentrasi-benar (sammā-samādhi). Tiadanya pengetahuan membuat batin senantiasa terombang-ambing dan dengan alasan ini maka keraguan merupakan rintangan di dalam latihan (paṭipatti-antarāya). Sifat dari vicikicchā adalah kebingungan seperti pada saat seseorang menemukan jalan bercabang dua dan tidak dapat menentukan jalan mana yang harus diambil. Karakteristik dari vicikicchā adalah ragu (saṃsaya-lakkhaṇa). Fungsi dari vicikicchā adalah menggoyahkan batin (kampana-rasa). Manifestasi dari vicikicchā adalah ketidakpastian (anicchaya-paccu-paṭṭhānā) atau "mengambil beraneka macam sudut" (anekaṃsagāha-paccu-paṭṭhānā). Sebab terdekat dari vicikicchā adalah perhatian yang tidak bijaksana (ayoniso-manasikāra-padaṭṭhāna).
Sikap Buddhis
Dengan jelasnya pandangan Buddhisme mengenai keyakinan yang tentunya menambah warna dari keberagaman pandangan agama-agama besar dunia, tidak lengkap rasanya jika kita tidak mempraktikkannya. Meskipun seseorang telah mempunyai keyakinan awal terhadap Buddha, Dhamma, dan Saṅgha (bisa saja berupa keyakinan buta), dia pada akhirnya tetap harus menemukan dan mengalami Kebenaran itu sendiri. Jika seseorang tidak menemukan dan mengalami Kebenaran, mau tidak mau ia perlu berhati-hati sambil menanamkan sikap menjaga Kebenaran karena sesuatu yang dianggap sebagai Kebenaran (berdasar pada keyakinan buta) tidak bisa benar-benar dipastikan benar-salahnya. Andaikan seseorang mengira Kebenaran sebagai sesuatu yang salah atau mengira bukan-Kebenaran sebagai sesuatu yang benar, dengan sikap menjaga Kebenaran, ia tetap aman dari berbagai pandangan salah.
Memahami bahwa kita bisa saja keliru dengan keyakinan buta kita sendiri, seharusnya kita sadar bahwa menjadi fanatik, fundamentalis sok, mudah beringas, dan menyakiti makhluk lain (dengan alasan sedang mempertahankan keyakinan terhadap Guru dan Ajaran) merupakan tindakan tidak perlu yang sebaiknya dihindari. Keyakinan yang masih bisa menyakiti makhluk lain bukanlah faktor-mental keyakinan melainkan suatu pandangan salah.
Begitu juga jika keraguan muncul, maka kita perlu mencari obat. Obat tersebut adalah pengetahuan. Dengan munculnya pengetahuan, maka keraguan lenyap. Menghilangkan keraguan bisa dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan kepada guru. Misalnya, kita dapat bertanya kepada anggota Saṅgha. Selain mencari pengetahuan sebagai obat dengan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang meragukan kepada anggota Saṅgha, kita juga perlu turut aktif dalam menimbulkan realisasi pengetahuan langsung yang menyingkirkan keraguan dengan mempelajari teori-teori Dhamma (pariyatti), mempraktikkannya (paṭipatti), hingga mencapai realisasi (paṭivedha).
Khotbah Lain Tentang Keyakinan
Hampa Dari Keyakinan (+ Tidak Memiliki Rasa Malu, Moralitas Sembrono, Kurang Belajar, Malas, Berpikiran Kacau, dan Tidak Bijaksana)
“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang orang yang jahat dan orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat; tentang orang yang baik dan orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik. Dengarkan dan perhatikanlah; Aku akan berbicara.”“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
- “Dan siapakah, para bhikkhu, orang yang jahat? Di sini, seseorang hampa dari keyakinan, tidak memiliki rasa malu, dengan moralitas yang sembrono, kurang dalam pembelajaran, malas, berpikiran kacau, dan tidak bijaksana. Ini disebut orang yang jahat.
- “Dan siapakah orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri hampa dari keyakinan dan mendorong orang lain agar hampa dari keyakinan; ia sendiri tidak memiliki rasa malu dan mendorong orang lain agar tidak memiliki rasa malu; ia sendiri memiliki moralitas yang sembrono dan mendorong orang lain agar memiliki moralitas yang sembrono; ia sendiri kurang dalam pembelajaran dan mendorong orang lain agar kurang dalam pembelajaran; ia sendiri malas dan mendorong orang lain agar menjadi malas; ia sendiri berpikiran kacau dan mendorong orang lain agar berpikiran kacau; ia sendiri tidak bijaksana dan mendorong orang lain agar menjadi tidak bijaksana. Ini disebut orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat.
- “Dan siapakah orang yang baik? Di sini, seseorang memiliki keyakinan, memiliki rasa malu dan rasa takut, dan terpelajar, bersemangat, penuh perhatian, dan bijaksana. Ini disebut orang yang baik.
- “Dan siapakah orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri sempurna dalam keyakinan dan mendorong orang lain agar sempurna dalam keyakinan; ia sendiri memiliki rasa malu dan mendorong orang lain agar memiliki rasa malu; ia sendiri memiliki rasa takut dan mendorong orang lain agar memiliki rasa takut; ia sendiri terpelajar dan mendorong orang lain dalam pembelajaran, ia sendiri bersemangat dan mendorong orang lain agar membangkitkan semangat, ia sendiri penuh perhatian dan mendorong orang lain agar menegakkan perhatian; ia sendiri bijaksana dan mendorong orang lain agar sempurna dalam kebijaksanaan. Ini disebut orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik.”
Keyakinan dan Faktor Lainnya
- “Para bhikkhu, seorang bhikkhu mungkin memiliki keyakinan tetapi ia tidak bermoral; dengan demikian ia tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu. Ia harus memenuhi faktor itu, [dengan berpikir]: ‘Bagaimanakah aku dapat memiliki keyakinan dan juga menjadi bermoral?’ Tetapi ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan dan juga bermoral, maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.
- “Seorang bhikkhu mungkin memiliki keyakinan dan bermoral, tetapi ia tidak terpelajar; dengan demikian ia tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu. Ia harus memenuhi faktor itu, [dengan berpikir]: ‘Bagaimanakah aku dapat memiliki keyakinan, bermoral, dan juga terpelajar?’ Tetapi ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan, bermoral, dan juga terpelajar, maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.
- “Seorang bhikkhu mungkin memiliki keyakinan, bermoral, dan terpelajar, tetapi ia bukan seorang pembabar Dhamma …
- … seorang pembabar Dhamma, tetapi bukan seorang yang sering mengunjungi kumpulan-kumpulan …
- … seorang yang sering mengunjungi kumpulan-kumpulan, tetapi bukan seorang yang dengan percaya diri mengajar Dhamma pada suatu kumpulan …
- (Paṭhama)… seorang yang dengan percaya diri mengajar Dhamma pada suatu kumpulan, tetapi bukan seorang yang memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan keberdiaman yang nyaman dalam kehidupan ini … (Dutiya) ... seorang yang dengan percaya diri mengajar Dhamma pada suatu kumpulan, tetapi ia bukan seorang yang menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam pembebasan-pembebasan yang damai itu, yang melampaui bentuk-bentuk, yang tanpa bentuk …
- (Paṭhama)… seorang yang memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan keberdiaman yang nyaman dalam kehidupan ini, (Dutiya) … seorang yang menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam pembebasan-pembebasan yang damai itu, yang melampaui bentuk-bentuk, yang tanpa bentuk, tetapi bukan seorang yang, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan demikian ia tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu. Ia harus memenuhi faktor itu, [dengan berpikir]: ‘Bagaimanakah aku dapat memiliki keyakinan … dan juga menjadi seorang yang, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya’?
- “Tetapi ketika seorang bhikkhu:
- (i) memiliki keyakinan,
- (ii) bermoral, dan
- (iii) terpelajar;
- (iv) seorang pembabar Dhamma;
- (v) seorang yang sering mengunjungi kumpulan-kumpulan;
- (vi) seorang yang dengan percaya diri mengajar Dhamma pada suatu kumpulan;
- (vii di Paṭhama) seorang yang memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan keberdiaman yang nyaman dalam kehidupan ini;
- (vii di Dutiya) seorang yang menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam pembebasan-pembebasan yang damai itu, yang melampaui bentuk-bentuk, yang tanpa bentuk; dan
- (viii) ia juga seorang yang, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya, maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.
“Seorang bhikkhu yang memiliki kedelapan kualitas ini adalah seorang yang menginspirasi kepercayaan dalam segala hal dan seorang yang lengkap dalam segala aspek.”
Referensi
- Situs web Suttacentral.net: Early Buddhist Texts, Translations, and Parallels.
- Situs web DhammaCitta.org: Sutta Rujukan terbitan DhammaCitta Press.
- Abhidhammatthasaṅgaha, Manual Abhidhamma (Ajaran tentang Realitas Hakiki), Bab 1: Kesadaran. Penulis: Ashin Kheminda. Penerbit: Dhammavihārī Buddhist Studies.
- Abhidhammatthasaṅgaha, Manual Abhidhamma (Ajaran tentang Realitas Hakiki), Bab 2: Faktor-Faktor Mental. Penulis: Ashin Kheminda. Penerbit: Dhammavihārī Buddhist Studies.
- Tipiṭaka Tematik. Penulis: Bhikkhu Bodhi. Penerjemah: Hendra Widjaja. Penerbit: Ehipassiko Foundation.