belakangan ini, w lagi mikirin tentang makna hidup. w bener-bener gak yakin apa yang menurut w bermakna. kayaknya susah buat nyari 'why' dari apapun yang lakuin. kecenderungan ini kian memarah saat w bertubi-tubi dihadapin sama berbagai 'kegagalan'. w gagal masuk universitas impian. w juga gagal dalam hubungan romansa. w juga gagal di banyak hal lain. semua rantaian kegagalan ini bikin w mikir ulang tentang makna idup. apa sih yang sebenernya w kejar? seberapa bermakna? disclaimer: tulisan ini dibuat dengan pandangan w saat ini yang sangat sangat terbatas. perlu diingat juga bahwa kapasitas intelektual w itu biasa-biasa saja hehehe.
faith and silent world
w pikir mungkin kecenderungan nyari makna idup ini dimulai dari goyahnya keyakinan w terhadap agama w sendiri. biasanya orang bilang karena kemajuan sains atau hal semacamnya. tapi, w rada dodol di sains-related subjects (fisika, kimia) di kuliahan. jadi, w gak bener-bener bisa, dengan sok, bilang kalau ini semua karena sains. deep inside, w sering ngerasa kalo sebenernya w kurang latihan dan kemauan aja. w ngerasa kalau w beneran mau nyoba mahamin sebenernya bisa-bisa aja. ini didukung dengan nilai w yg cukup ok di logic subject. tapi ya gimana, w aja gatau 'why' w :( tapi bisa aja ini cuma that dunning-kruger at work, sebenernya w gak mampu tapi sok ngerasa mampu aja wkwk.
oke balik ke agama, w itu tipe orang yang dari sononya punya kecenderungan buat ngerenungin dan mempertanyain hal-hal yang, kalau kata orang, kagak perlu ditanyain. saat ini, w masih ngerasa w religius, tapi w juga ngerasa munafik pada saat yang bersamaan. w banyak menanyakan doktrin-doktirn agama w sendiri, tapi di sisi lain w sadar bahwa pemahaman w atas agama w sendiri juga masih cetek banget. ada masa di mana w bener-bener mau mendalami agama w dan pada akhirnya menuntun w ke state di mana w ngerasa kalau beneran mau ngedalamin, banyak keidupan 'normal' w yang harus dikorbanin. kayak aneh aja kalau setengah-setengah. mungkin orang sering pake kalimat "bingung ngejar dunia atau akhirat" kali ya. tapi, tentunya 'akhirat' di sini w ngartiinnya agak beda. di sisi lainnya lagi, w sering suka terhanyut sama hal-hal nonreligius. w ngerasa w in a way terlalu duniawi, gak rajin latian, dkk. inilah kenapa w sering ngerasa 'munafik'.
sains sebagaimana yang w tau (of course cetek banget) itu juga w gak ngerti-ngerti banget, buat ngikutinnya juga kayaknya mau gak mau ngelibatin faith :D w gak pernah liat elektron, w gak pernah liat berbagai advanced science stuff irl, meskipun beberapa nyata banget, yang lainnya enggak keliatan sama sekali. tapi, ya w yakin-yakin aja yang w pelajarin itu bener in reality. oke w tau ini masalah lain. katanya, sains didasarkan pada doubt etc etc. mungkin emang cara orang approach science ada yang keliru, yaitu dengan faith-based, padahal sains itu sendiri doubt-based. tapi, dengan kemampuan komprehensi yang gak mencukupi, ya udah jiper duluan sebelum mau doubting. oiya, w juga ngeh kalau nilai-nilai agama yang w anut juga bisa aja ditafsir biar sealign sama sains. tapi tetep, ini gak ngubah fakta bahwa fakta-fakta saintifik itu depressing dan gak punya 'nilai'. saking objektifnya, bikin w stress sendiri.
ini ngeselin sih. sains itu kan objektif banget yak, dia cuma ngejelasin what is, bukan what should. nah, yang nentuin what should harusnya orangnya sendiri tergantung goals/tujuannya. di sini letak ngeselinnya. dunia ini seakan diem-diem aja soal what should. w mandang ini pakai sudut pandang relativisme moral. moral, sebagaimana kita kenal, itu relatif banget dah. baik-buruk itu aneh banget, w susah banget mahaminnya. dari sudut pandang w, w ngeh kalau ada beberapa nilai-nilai yang cukup 'universal' di mayoritas manusia. kayak ada kecenderungan bawaan buat nganggep sesuatu itu baik/buruk dari sononya. misalnya hal-hal kayak pembunuhan dkk. tapi tetep, manusia juga bisa aja justifikasi hal-hal yang tadi w sebutin sebagai baik wkwkwk. relatif banget kan? terus? dunia ini ya diem aja.
soal makna idup tadi, w juga mandang pake cara ini. orang yang punya 'makna idup' ngerasa bener-bener tau apa yang menurut dia 'baik', mangkanya dia kejar terus. dia jadiin pedoman idup karena dia yakin itu 'baik' berdasarkan penilainnya. sering denger kan orang jawab 'bisa bantu orang banyak' 'bermanfaat bagi bangsa agama' dkk? nah, ini juga problematik buat w. w kadang mikir 'oh yaudah kalau bagi w baik/bermanfaat/etc ya jalanin aja. ga peduli apa kata dunia apa kata orang lain' tapi bisa aja w memercayai suatu doktrin di mana membasmi suatu ras di bumi ini bermanfaat/baik terus w ikutin aja karena seyakin itu sama 'makna' idup tersebut wkwk. begitu juga orang yang bilang 'bermanfaat bagi agama', yang beda agama pada beda-beda nilai-nilainya dong? belum lagi ditambah ruwetnya berbagai tafsir agama yang beda-beda, termasuk yang problematik parah di dalemnya yang ngelibatin pembunuhan massal dkk.
oh iya, di buddhisme itu sendiri gak menitikberatkan di kepercayaan terhadap sesosok tuhan mahakuasa, juga enggak di surga-neraka (meskipun ada secara doktrin). framework good/bad buddhism (spesifikmya theravāda sebagaimana mazhab itu yg w imani) itu beyond sebatas god is watching. mungkin soal ini bisa w elaborate kapan-kapan di postingan tag buddhism, coba baca juga
postingan soal iman/saddhā yang udah w post dari kapan tau. versi buddhisme yang w jalani juga tidak menitikberatkan ritual-ritual, meskipun w tidak mengelak fakta bahwa hal tersebut masih sering dipraktikkan.
majority approval is a bonus, or not?
soal makna idup w sendiri, w rasa majority approval is a bonus. kalau tujuan idupnya, sesuatu yang bermaknanya, sealign sama mayoritas orang artinya orang-orang tersebut juga setuju kalau sesuatu itu baik, maka itu bonus. tapi w juga bingung entah itu bonus atau harus. bisa aja sih kalau makna idupnya gak approved by majority maka harus ganti biar lebih 'universally good'. well, ini juga kinda problematik. w tinggal di negara yang mayoritas homofobik. w gak ngerasa homoseksual sebagai sesuatu yang 'buruk' secara moral yang w pegang. tapi, mayoritas di sini berpikir itu buruk. terus? kompas moral w harus ngikutin orang, atau ngikutin kata 'hati' w aja? tapi again, problem di poin sebelumnya, sebagaimana w jelasin di part silent world tetep ada.
absurd

kalo kata albert camus, sebagaimana yang w pahamin secara amatiran, usaha manusia buat nyari makna dan diemnya dunia ini absurd. kita mati-matian nyari makna, tapi dunia diem aja. coba nih ya dipikir. kita gak pernah tau alesan kenapa spesies kita ada. kenapa
evolusi tanpa arah pada akhirnya bikin spesies kita eksis. kita bahkan gatau kenapa makhluk pertama ada di dunia. kalau pakai cara pandang evolusioner, kehadiran kita itu part of randomness yang terpola (aneh kan?). terus kalau kita gak ada gimana? ya proses-proses alamiah di dunia ini tetep jalan. planet kebentuk, planet ancur, dkk. absurd banget kan cuy. w selalu mandang diri w sebagai kumpulan sel eukariotik berbentuk manusia. kadang juga w nyebut diri w sebagai wayang biokimia berbentuk manusia. w gak pernah 'milih' biokimia yang ngebentuk otak w dan semua sel di tubuh w. w juga gak milih resep dna w. semua ini ya terjadi gitu aja. ngeliat dunia dengan sudut pandang ini, makin absurd. ini yang w maksud dengan 'dunia diem aja'. kayak, yang penting lu sintas/survive dan reproduksi, udah men kelar. gak peduli lu kesiksa atau bisa nemuin sesuatu yang bermakna atau enggak.
philosophical suicide: leap of faith
sayangnya, w gak seberani itu buat embrace the absurd. w lebih sering philosophically suicide dengan meyakinkan diri w atas agama yang w yakini, yakni buddhisme. tapi, again, w rasa mengimani buddhisme tidak memenuhi pendefinisian philosophical suicidenya camus.
we commit philosophical suicide when we perform a leap of faith. to perform a leap of faith is to suspend rationality, it is to claim knowledge or believe things that go beyond the limits of rationality, it is to believe things on faith.
iman di buddhisme enggak menangguhkan rasionalitas, enggak mengklaim pengetahuan atau mempercayai hal-hal yang melampaui batas rasionalitas. kenapa? karena w ada di titik yang entah belum mencapai batas itu atau bahkan batasannya sendiri juga gak tau apaan. ok mungkin w terlalu semena-mena dalam ngedefinisiin rasionalitas di sini. sepemahaman w, intinya, dengan philosophical suicide, kita jadi ngerasa kalau dunia ini secara inheren bermakna karena agama kita bilang begitu. soal ini, stance w adalah: what if i constantly remind myself that the meaning that i have isn't inheren di dunia, tapi highly subjective berdasarkan kecenderungan-kecenderungan w, di saat yang bersamaan, w juga tetap memiliki values yang w anggep meaningful.
sejauh ini, kecenderungan w adalah untuk terus-menerus ningkatin iman w. sejauh ini, salah satu alasan utamanya w rasa karena agama ini ngebantu w ngelewatin banyak masalah idup. agama ini juga bantu w coping masalah berat w. untuk itu, w menghargai agama ini. taaapi, tentu saja, cuma karena agama ini bermanfaat baik w, bukan berarti agama ini keseluruhannya benar secara empiris :D w gak bisa assure sisi mistikal buddhisme itu beneran ada. w gatau hukum karma, rebirth, nirwana itu scientifically possible atau enggak. tapi, dari sisi agamanya sendiri, hal-hal ini wajib diyakini. ini juga maksud w kenapa w ngerasa munafik tadi. but again, w punya kecenderungan buat meyakini agama ini dengan sepenuh hati despite the fact that w gatau apakah scientifically possible. well, meskipun ini somehow problematik juga.
am i deluded?
w selalu bertanya-tanya apakah w penuh delusi atau enggak. beberapa bagian dari iman itu agaknya delutif. di sisi ini, w takut kalau w bakal deluded in a way that rejects scientific facts, or reject reality as it is. ya, meskipun di buddhisme diajari untuk yathābhūta (melihat sesuatu sebagaimana adanya), question this or that, ini-itu dkk, tapi tetep, doktrin-doktrin utama yang w udah sebut tadi sampai saat ini belum scientifically proven. meskipun again, seperti yang w udah bahas di awal banget, sains w rada dodol :D w takut w jadi penuh bias dan falasi berpikir karena w mengimani agama w.
sejauh ini, doktrin anatta (menolak adanya roh) buddhism sejalan dengan kecenderungan-untuk-memercayai w. doktrin soal anicca juga sejalan. soal menolak berdoa sebagai sebab untuk berbagai hal juga sejalan. tapi soal devas, ghosts, penilaian karmic, praktik atthasīla (puasa musik) dkk ini yang agak sulit. take a note, buddhism itu nitikberatin di pengikisan delusi (moha, dalam bahasa pali) dengan meditasi (vipassana). sejauh ini, meditasi (vipassana) emang kayanya proven enough to decrease such thing? atau w biased? atau w deluded?
well-being and why is it true


sejauh ini, w setuju sama pandangan pak sam harris di the moral landscape yang menyatakan bahwa nilai-nilai moral bisa ditentuin sama sains meskipun kita semua tau hume's is-ought yang ngejelasin kalau penjelasan deksriptif (what-is) gak bisa nentuin sesuatu yang persuasif (what-ought-to). what-is: masukin bayi ke oven akan membuat bayi itu meleleh, gak serta merta bisa nentuin what-should: tidak boleh masukin bayi ke oven. kecuali, kalau w tetapin "keselamatan bayi" sebagai tujuan moral w. menurut beliau, dengan mendefiniskan moral sebagai well being of conscious creature, kita jadi bisa nilai beberapa moral subjektif sebagai lebih oke atau enggak oke. pandangan ini masuk di w sih. di persoalan bayi tadi, mayoritas orang bakal setuju buat gak masukin bayi ke oven. ini karena kita concern sama 'well-being' bayi itu. kita semua sebagai manusia cenderung universal dalam menanggapi mana yang mengarah ke well-being, kita punya sense bawaan soal ini. cuma, seringkali, caranya salah, gak bakal nyampe ke tujuannya. contoh, zaman dulu, orang pakai persembahan nyawa manusia biar dapetin ujan pas kekeringan besar. mereka pikir tindakan-tindakan tertentu bikin gak ujan. padahal, dengan persembahin nyawa, gak bikin ujan juga. nah, kalau ditelusuri, niatnya itu well-being. mereka perlu hujan demi kepentingan bersama, demi bertahan idup. cuma ya tadi, caranya salah. oleh karena itu, dengan sains, kita lebih bisa akurat nentuin cara buat nyampe tujuannya. w fit in ke pendefinisian moralitas ini.
soal why is it true, w merujuk ke buku robert wright soal why buddhism is true. beliau berpendapat bawa nilai-nilai buddhisme itu sejalan sama well-being as known in neurosains modern. latihan-latihan cinta kasih (metta), vipassana, dkk konon katanya sejalan. w hati-hati banget jadiin ini sebagai justifikasi karena bisa aja w bias cuma karena w mau tetep percaya agama w. ya blame on the writer's book aja deh karena w juga gak ngerti sama sekali soal neuroscience :D cuma dengan asumsi kalau bukunya oke-oke aja, ini jadi sealign sama pendapat sam harris tadi. sains yang dipake buat ngarah ke well-being of conscious creature ya ngelibatin neurosains-as-science. kalau ada agama yang sealign dengan neurosains 'moral sense' ya berarti 'lebih bisa' sealign dengan tujuan itu in the first place. karena pendefinisian moralitas demikian agaknya universal di mayoritas manusia, harusnya bakal lebih dapet majority approval (dengan asumsi sudah menghilangkan nilai-nilai yang tidak sejalan dengan tujuan seperti ritual hujan tadi). dan yang terpenting, ini juga dapat approval dari w sendiri.
puñña dan pāramī
nah, jadi hal-hal yang udah dijelasin di poin sebelumnya yang bikin w tetep megang agama w secara taat dan tetap menghindari untuk menolak sains juga. meskipun, again, beberapa doktrin agama itu tetap akan menjadi big questions. tapi, inget, beberapa hal juga masih big questions. as long as it works for me, i'll follow it anyway. singkatnya, w nerapin nilai-nilai yang dianggep morally good sama buddhisme, sebagaimana tertuang di kebajikan (puñña) yang meliputi sepuluh nilai (dasa puñña kiriya vatthu): dāna, sīla, bhāvanā, apacāyana, veyyāvacca, pattidāna, pattānumodana, dhammassavana, dhammadesana, dan diṭṭhijukamma. juga sebagaimana tertuang di kesempurnaan (pāramī, sebagaimana menjadi inspirasi nama blog ini): dāna, sīla, nekkhamma, paññā, viriya, khanti, sacca, adhiṭṭhāna, mettā, upekkhā. mengenai puñña dan pāramī nanti kapan-kapan w tulis di tag buddhisme di blog ini deh rangkumannya, kali aja ada yang niat mau baca.
but still, this doesn't mean that w ignoring nilai-nilai mistis buddhisme. ke depannya, w bakal nganggep sesederhana ini: mungkin w aja yang belum paham hal-hal yang dianggep mistikal tersebut. toh, hal-hal kayak gini bisa bikin w ngerasa there's something higher than me to rely on. meskipun, ya, buddhism menitikberatkan untuk rely pada gugusan mental diri sendiri, tapi dalam hal ini yg w maksud adalah relying on sesuatu biar bisa ngemaknain idup ini. nerima dunia sebagai pure randomness yg berpola entah kenapa stressful. ya w bisa aja lebih objektif dengan legowo, tapi di beberapa titik, w tetep butuh meaning-making process.
secular buddhism dan dualisme sains-agama

nah ini juga ngeselin men. saat ini w agak cenderung mengarah ke secular buddhism. tapi, interpretasi kamma buat secular view itu juga agak ngacauin doktrinnya. di sisi ini, buddhism highly metaphysical karena kamma berhubungan erat dengan rebirth. secular buddhism tuh biasanya ngambil meditasinya aja sama nilai-nilai filosofis yang 'bermanfaat'. this kind of buddhism menginterpretasikan hukum kamma sebagai hukum sebab-akibat yang materialistis (sebagaimana newtonian), jelasnya
w paparin di sini soal pendekatan kamma yang mind-based. but sure, gak menutup kemungkinan orang bisa memaknai hidupnya dengan secular buddhism. be more present, here and now, grateful, realizing dukkha, etc etc. kadang w juga mikir, lah orang di beberapa part udah sekuler dari sononya? soal eksistensi tuhan, dkk tadi? kalau untuk yang dewa-dewi w kadang simply anggep mereka itu alien wkwk. surga-neraka dipandang secara materialis (anggep aja ada di suatu tempat di alam semeste entah di mana w gatau) juga aman-aman aja sejauh ini, karena emang buddhism goal kan enggak ngejar ginian. why? karena meskipun masuk situ, masih tetep bisa meninggal, gak eternal. but this also doesn't mean that nirwana itu scientifically proven wkwk.
untuk w, kalau mau jalanin ini, kok ya rasanya munafik aja. tapi kalau gak jalanin ini, beberapa hal memang masih questionable, thus w masi ragu-ragu. sejauh ini, pegangan w sih begini: w mungkin belum bisa buktiin beberapa doktrin karena w lack of practices. sooner or later, ketika w udah banyak practices, kayaknya mungkin aja w bisa ngertiin hal-hal yang masih meragukan. so it's like hey it's me, i'm the problem it's me, not buddhism itself.
kayaknya letak kesalahan w juga ada di memandang sains-agama sebagai dualisme. why not yang satu menjelaskan yang lainnya? note that ini bukan in a way that terus-menerus menjustifikasi nilai-nilai agama. banyak nih yang gini. beberapa tuh kayak sulit nerima kalau mereka yakin sama nilai-nilai yang mereka anut ya simply karena yakin mengimani aja, gak perlu alasan-alasan saintifik sebenernya. glad, di agama w, mempertanyakan hal-hal itu dibolehin. w pakai celah ini buat nge-align nilai-nilai yang w yakini dengan pendefinisian moral well-being tadi dan hasil empiris saintifik. dengan demikian, w constantly checking (tapi seringkali w juga agak skeptical dengan beberapa nilai, jadi kayak setengah-setengah jalaninnya wkwk). thus, ngejalanin agama dengan iman gak simply jalanin gitu aja karena agak bisa bikin harmful. dengan nge-align 'tafsiran' tadi, tujuan-tujuan w jadi tercapai, dan most likely less people are being harmed.
what if to accept scientific foundings are also part of puñña? of yathābhūta? which is also part of pāramī? well, it is possible untuk mentafsirkannya demikian. toh, sains is neither nolak or debunk some metaphysical parts of buddhism. sains 'cuma' ngasih fakta objektif empiris. sains will always grow and change and correct things up, but some existential questions will remain unquestionable (at least during my lifetime). toh, sains juga gak serta-merta bisa ngasih 'nilai' secara moral. mangkanya, w pake pendefinisian moral (well-being of conscious creature) tadi biar bisa di-align sama sains.
scale of meaning

sejauh ini, begini sih cara w survive biar punya sense of meaning. kalau enggak gini, w gatau lagi ngapain w hidup. meskipun tetep questionable kayak emangnya well-being w secara inheren bermakna di dunia ini? ya tapi itu irelevan karena realitas yang w rasain entirely up to me. maupun secara inheren gak bermakna, yang w rasa bikin idup w jadi bermakna ya yang mendukung idup w sendiri. w mandangnya semua ini soal skala. kalau w liat dari sudut pandang antariksa, ya bumi cuma secuil setitik debu di luasnya antariksa. di planet lain bisa aja banyak 'manusia' lain. dari skala ini, w jadinya gak bermakna banget. tapi, kalau diliatnya dari skala w dan orang-orang sekitar w, ketika mereka mencapai well-being, termasuk w juga, maka itu pun sudah meaningful. apakah secara inheren di dunia meaningful atau enggak, itu irelevan, gak ngubah fakta atas apa yang w rasain secara mental. w menderita ya itu fakta subjektif w. w bahagia ya itu fakta subjektif w. gak peduli se-bermakna apa di mata dunia. lagipula, dunia diem aja juga.
smart but depressed
w mau bahas soal ini juga soalnya entah kenapa menarik aja dari sudut pandang w. w punya beberapa temen yang bisa dibilang pinter lah. pinter di sini dalam arti kapasitas otak buat nyelesaiin berbagai macam tugas secara akurat sesuai dengan tujuannya ya, bukan pinter yang lain-lain. nah, orang-orang pinter ini itu beraneka ragam. beberapa dari mereka berpikiran terbuka, beberapa dari mereka berpikiran agak tertutup. kayaknya sih ya, kepinteran (intelligence) itu gak menjamin keterbukaan seseorang (intellect). beberapa orang pinter dari sononya gak punya kecenderungan buat mempertanyain ini-itu, termasuk agama yang dianutnya. kadang, w berharap w jadi orang kayak gini. note that w kayaknya pinter aja kagak wkwk. terus, tipe kedua itu yang pinter dan terbuka. tipe ketiga yang gak-pinter dan gak-terbuka, tipe keempat yang gak-pinter dan terbuka.
nah, w sekarang mau bahas spesifik ke temen-temen w yang pinter dan terbuka (intelligent & intellect). w kenal beberapa orang yang pinternya gak karuan. mereka udah menggapai banyak hal yang orang ingin gapai: pengakuan sosial atas nilai akademis, pencapaian ini-itu, dll. tapi, beberapa deeply depressed banget man. terutama buat yang +terbuka ya, soalnya mereka punya tendensi buat nanyain ini-itu di agama mereka. ini keliatan dari cuitan di twitter circle mereka dan obrolan ketika kita ketemuan. ini klise sih, tapi kepinteran emang gak menjamin hidup u bakal meaningful kali ya? (meskipun so is kedodolan juga enggak menjamin wkwk). orang yang begini yang w sebut smart but depressed.
buat orang-orang yang gak pinter-pinter amat, kayak w misalnya, w pikir tadinya masalah idup orang akan kebermaknaan akan lebih mudah terselesaikan kalau orang tersebut pinter. tapi, ngeliat sekitaran w, kayaknya enggak juga. justru, karena otak mereka lebih jago nyari celah-celah yang problematik, mereka lebih tertekan. sulit buat mereka buat mercayain hal-hal yang gak masuk ke cara mikir mereka. selain yang smart but depressed, ada juga yang tipe pinter-terbuka ini yang hidup dalam ke-munafik-an sebagaimana w jelasin tadi, dalam artian kebimbangan antara empiris dan keimanan. hal-hal kayak gini, seperhatian w, gak terlalu signifikan kejadiannya di orang-orang yang pinter-tertutup. orang yang pinter-tertutup bisa dapetin banyak prestasi tapi tetep megang teguh nilai agamanya tanpa mertanyain banyak. orang kayak ini socially lebih acceptable dan nampaknya mentally lebih sehat. tapi emang beberapa orang dari sononya gak bisa begini, gak bisa semuanya semudah itu jadi rada tertutup.
atas penjelasan ini, buat w sih ya, smart but depressed itu what a waste. kayak, lu udah punya kelebihan-kelebihan yang orang-orang mau itu cuy, kok tetep aja kagak seneng sih? lu mau apalagi men? sampai meninggal dunia terus-menerus menderita padahal kagak lack of things yang mendukung untuk survive? lu udah ada di bell-curve intelligence bagian kanan man? secanggih-canggihnya otak lu buat notice berbagai celah pemaknaan idup, fakta bahwa u menderita ya tetep fakta wkwk. ya, emang misalnya dunia secara inheren kagak ada makna, ya apa sih yang bikin u menahan diri buat bikin makna u sendiri, sambil tetep nyadarin kalo secara inheren ya gak bermakna sambil berlagak cool~ ya w tau orang-orang tipe gini kemungkinan besar udah pada baca buku nietzche (salah spelling bodo amat) lah, buku camus lah, buku kierkegaard lah, tapi kalo u tetep menderita, buat apa cuy? u are so smart? what a waste? gak harus pake agama juga buat bikin kebermaknaan, take some philosophical doctrines juga gak apa-apa kali cuy?
closingan
oke segini aja postingannya. asik juga w bisa nuangin pemikiran ini yang selama ini cuma ada di pikiran w aja. akhirnya jadi dalam bentuk tulisan juga. ini bener-bener heal.
so, my main life's goal is: nirwana (which of course can be interpreted as 'well-being' too! meskipun i do realize that doctrinally nirwana is something beyond well-being and non-well-being). my ways to achieve that goal adalah dengan mempraktikkan puñña dan pāramī (di dalamnya mencakup klasifikasi kusala/hal-hal yang dianggep baik sama buddhisme). ini goals jangka panjang (banget) karena melewati berbagai lintasan rebirth ke depan wkwkwk. nah, untuk life's goal yg agak shorter term (short-middle-long-term kalau pake sudut pandang kehidupan ini), of course based on well-being of conscious creature dan buddhist puñña, w tinggal connect mimpi-mimpi/goals idup w dengan nilai-nilai moral ini. misal, w mau jalanin profesi X, w tinggal cari cara jalanin profesi X dengan impact-impactnya yang mendukung pencapaian hal-hal yang w anggep morally good. thus, idup w jadi bakal terasa meaningful.
oke bye! i believe that meaning making process is deeply personal. what work for me don't necessarily work for everyone and that's ok. find your own way to suvive, to cope <3
post a comment: